Alibin Abi bekerja keras pada masa kekhilafahannya guna mengembalikan stabilitas dalam tubuh umat Islam. 2. Diantara strategi Khalifah Ali bin Abi Thalib, yang berhasil dikembangkan adalah: a. Perkembangan di bidang pembangunan. b. Perkembangan di bidang bahasa. c. Perkembangan di bidang militer. d. Perkembangan di bidang pemerintahan. e.
MakalahALi Bin Abi Thalib Sabtu, 26 Maret 2016 MAKALAH PENGARUH KEPUTUSAN STRATEGIS BAGI PERUSAHAAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebuah keputusan yang dikonstruksi dengan baik mampu memberi pengaruhbesar penguatan strategis perusahaan. Sehingga sebuah keputusan sebaiknya dibuat oleh mereka yang memiliki keahlian tinggi dalam bidangnya.
Alibin Abi Thalib adalah termasuk salah seorang yang pertama masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun) dari kalangan anak-anak (sekitar berumur delapan atau sepuluh tahun), dan termasuk salah seorang sahabat Nabi yang dijanjikan masuk surga. Sejak kecil ia dididik dengan adab dan budi pekerti Islam, karena kedekatannya dengan Nabi.
Dalammakalah ini akan dijelaskan mengenai sejarah kemajuan dan kebijakan politik pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib serta kemunduran akibat pemberontakan-pemberontakan yang ditandai perang terbuka antar umat Islam. 2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam makalah ini antara lain: A. Bagaimana riwayat hidup Ali Bin Abi Thalib?
Alibin Abi Thalib adalah salah satu orang yang pertama kali beriman dengan Rasulullah SAW meskipun dia saat itu masih kecil. Dia adalah putera Abu Thalib paman Rasulullah SAW dan dikawinkan dengan puterinya yang bernama Fatimah yang dari pihak inilah Rasulullah memperoleh keturunan.
Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd Nợ Xấu. Selama perkembangan agama islam, ada banyak tokoh dan sahabat Rasulullah yang ikut berperan dalam menyebarkan agama islam dan menegakkan agama Allah SWT di dunia ini baca dunia menurut islam dan sejarah agama islam. Beberapa tokoh yang sangat berpengaruh pada masa itu diantaranya adalah para khulafaur rasyidin. Siapa yang tidak kenal dengan tokoh muslim yang satu in? Ya, nama Ali Bin Abi Thalib pastinya dikenal oleh setiap umat islam didunia ini karena beliau adalah salah satu khalifah dijaman Nabi Muhammad SAW dan menjabat setelah beliau dan ketiga khalifah sebelumnya wafat. Ali bin Abi Thalib adalah salah satu sahabat Rasul yang berpengaruh bagi islam. Untuk mengetahui dengan lebih jelasnya, mari kita simak sejarah hidup Ali bin Abi Thalib berikut ini. baca kisah teladan Nabi Muhammad SAW dan kisah abu Bakar Ash ShiddiqKelahiran dan Masa KecilAli Bin Abi Thalib masih berkerabat dekat dengan Rasulullah SAW. Beliau adalah sepupu Nabi Muhammad SAW atau putra dari pamannya Abu Thalib. Ali bin abi Thalib lahir dikota Mekah tepatnya didaerah yang disebut sebagai Hijaz pada tanggal 13 rajab baca keutamaan puasa rajab. Beliau lahir dari seorang ibu yang bernama Fatimah Binti Asad. Beberapa kalangan ulama berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib lahir pada tahun ke 10 sebelum Nabi Muhammad SAW memulai kenabiannya atau pada sekitar tahun 599 atau 600 Masehi . Pada saat lahir, sebenarnya Ali bin Abi Thalib bernama Haydar bin Abu Thalib yang artinya singa dari keluarga Abu Thalib, namun Rasulullah SAW tidak begitu menyukai nama tersebut dan beliau SAW memanggilnya dengan nama Ali yang memiliki arti “yang tinggi derajatnya disisi Allah”.Masuk Islamnya Ali bin Abi ThalibKarena Nabi Muhammad SAW tidak memiliki putra atau anak laki-laki pada saat itu, maka paman nabi, Abu Thalib menyerahkan Ali bin Abi Thalib pada beliau SAW dan istrinya Khadijah RA untuk diasuh saat usianya 6 tahun baca istri-istri nabi muhammad SAW dan cara mendidik anak dalam islam. Akhirnya Rasul mengasuh Ali bin Abi Thalib hingga ia dewasa dan Rasul mengajarkannya banyak hal. Ali bin Abi Thalib juga merupakan orang pertama yang masuk islam sebelum sahabat-sahabat lainnya. Ia mengakui kenabian Muhammad SAW saat usianya masih kecil atau sekitar 10 tahun. Meskipun masih kecil, Ali sudah mengenal islam dengan baik dan beberapa kalangan ulama menyebutnya sebagai orang kedua yang masuk islam setelah Khadijah RA. baca juga keutamaan Aisyah istri Rasulullah SAW Masa Remaja dan DewasaMasa remaja Ali bin Abi Thalib dihabiskan bersama Rasulullah dan menimba ilmu dalam islam. Sejak Ali bin Abi Thalib masih muda, ia banyak melakukan hal-hal bersama Rasulullah termasuk mengikuti perang untuk membela agama islam baca hukum menuntut ilmu dan ilmu pendidikan islam. Ketika Ali bin Abi Thalib beranjak dewasa ia dinikahkan dengan puteri Rasulullah SAW, Fatimah dan kemudian mereka memiliki empat orang anak dari pernikahannya yakni Hasan, Husein, Zainab dan Ummu menerima Ali bin Abi Thalib sebagai menantunya, Rasul pernah menolak lamaran sahabat yang dikenal kaya dan memiliki jabatan kala itu yakni sahabat Abu Bakar Ash shiddiq dan juga Umar Bin Khatab. Saat itu Rasul menolak pinangan kedua sahabat tersebut karena malaikat Jibril datang kepada Muhammad SAW dan mengabarkan bahwa Ali lah yang akan menikah dengan Fatimah Az zahra putrinya. Menurut pendapat ulama, Ali menikahi Fatimah saat usianya 18 tahun dan fatimah berusia 14 atau 15 tahun Wallahu A’lam Bisshawab dan mereka menikah setelah peristiwa perang Badar terjadi. baca hukum pernikahan dalam islam dan persiapan pernikahan dalam islamKeberanian Ali Bin Abi ThalibSelain dikenal akan kebaikan sifat dan pribadinya, Ali juga dikenal pemberani. Dikisahkan ketika Rasul akan pergi berhijrah dengan Abu Bakar Ash Shiddiq, Ali bin Abi Thalib menggantikan beliau SAW untuk tidur diranjangnya padahal saat itu kaum kafir Quraisy berniat untuk mencelakai Nabi Muhammad SAW. Tidak hanya itu, banyak peperangan yang telah diikuti oleh Ali bin Abi Thalib bersama Rasulullah SAW diantaranya adalah perang badar, perang khandak, perang khaibar dan peperangan lainnya kecuali perang Tabuk karena saat terjadinya perang Tabuk, Ali sedang menggantikan posisi Rasulullah SAW untuk menjaga kota Madinah Al Munawarah dari serangan musuh. Kita juga mengetahui bahwa Ali bin Abi Thalib berhasil mengahancurkan benteng khaibar pada perang khaibar dan juga membunuh musuh termasuk Amar bin Abdi Wud pada perang Kekhalifahan Ali Bin Abi ThalibSetelah Rasullulah SAW wafat maka kepemimpinan umat islam dipegang oleh Khulafair Rasyidin. Setelah peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, masyarakat Arab kemudian meminta dan membaiat Ali bin Abi Thalib untuk menjadi pemimpin bagi mereka namun ada beberapa kalangan yang tidak menyukai hal tersebut termasuk keluarga Utsman bin Affan dan kerabatnya karena jika Ali memimpin maka mereka tidak lagi bisa hidup senang dan nyaman sebagaimana saat kepemimpinan Utsman bin Affan yang cenderung mudah dan lunak. Kepemimpinan Ali adalah layaknya kepemimpinan Umar bin Khatab yang keras dan disiplin. Ada beberapa hal yang dilakukan Ali saat masa pemerintahannya yang berlangsung selama lima tahun yakni dari tahun 656 – 661 M, antara lainMenghapus nepotisme yang kala itu banyak terjadi dalam lingkungan pejabat atau gubernur yang berkuasa kala kepemimpinan Utsman bin Affan dan menunjuk pejabat baru untuk kembali semua tanah yang telah dihibahkan oleh Utsman bin Affan kepada para pengaruh islam didaerah-daerah yang telah ditaklukkan oleh khalifah sebelumnya antara lain di kawasan Persia dan afrika Utara. baca perkembangan islam dan sejarah islam di Arab SaudiPada masa kekhalifan Ali bin Abi Thalib juga terjadi kerusuhan dan perang saudara antar umat muslim. Saat itu disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib berperang melawan Aisyah RA yang dihasut oleh beberapa orang diantaranya Abdullah bin Zubair dan Thalhah. Perang tersebut dikenal sebagai perang jamal. Selain itu perang lainnya yang terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib adalah perang Shiffin dimana Ali berperang dengan Muawiyah bin Abu Ali Bin Abi ThalibAli bin Abi Thalib wafat saat usianya menginjak 63 tahun dan diketahui bahwa beliau meninggal karena dibunuh oleh Abdurrahman Bin Muljam yang merupakan anggota dari Khawarijmi atau kaum pembangkang pada tanggal 19 ramadhan, dan akhirnya Ali bin Abi Thalib RA menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan pada tahun ke 40 Bin Abi Thalib adalah sahabat Rasul yang memiliki kedudukan di sisi Allah SWT, sebagai seorang muslim tentunya kita harus mengetahui sejarahnya dan meniru kebaikan akhlak dan budi pekertinya. baca cara meningkatkan akhlak terpuji
BAB I PENDAHULUAN Setelah berakhir pemerintahan khalifah Usman bin Affan 35H/656M dengan kematiannya di ujung pedang para pemberontak yang tidak puas terhadap kebijakan-kebijakan politik dan pemerintahannya, umat Islam pada waktu itu mengalami kegoncangan dan perpecahan dalam menentukan siapa pemimpin mereka selanjutnya. Dalam suasana ini akhirnya Ali bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah yang keempat menggantikan Utsman bin Affan. Walaupun Ali dipilih oleh mayoritas umat dari kalangan Anshar dan Muhajirin, namun tidak didukung secara bulat oleh sahabat-sahabat senior dan juga dari keluarga Bani Umaiyah. Hal ini tentu di kemudian hari menimbulkan problematika dalam mengendalikan kepemimpinannya. Sejak awal pemerintahan Ali bin Abi Thalib perpecahan di kalangan umat Islam sudah tak terelakkan lagi. Tercatat dalam lembaran sejarah, masa ini sebagai masa awal timbulnya disintegrasi umat Islam, yang diawali perpecahan dalam bidang politik pemerintahan, dengan adanya perlawanan dan pemberontakan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib yang melibatkan para sahabat senior Nabi. Dari masalah politik ini perpecahan melebar ke masalah pemahaman terhadap teologi. Oleh karena itu, untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam makalah sederhana ini dengan rumusan masalah sebagai berikut 1. Bagaimana Biografi Ali bin Abi Thalib? 2. Bgaimana proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah? 3. Apa sajA Konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib 4. Bagaimana Terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib? 1. Untuk Mengetahui Biografi Ali Bin ABi Thalib. 2. Untuk Mengetahui Pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah 3. Untuk Mengetahui Konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib 4. Untuk Mengetahui Terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib BAB II PEMBAHASAN A. Biografi Ali bin Abi Thalib Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib ibn Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abd Manaf bin Qusay al-Quraisy. Ibunya adalah Fatimah binti Asad bin Hisyam, masuk Islam dan ikut hijrah bersama Nabi. Ia lahir di Mekkah 32 tahun setelah kelahiran Rasulullah atau 10 tahun sebelum bi’tsah pengangkatan sebagai rasul.[1] Ali adalah keponakan dan sekaligus menantu Nabi dari putri beliau Fatimah. Fatimah adalah satu-satunya putri Rasulullah mempunyai keturunan sampai sekarang.[2] Ali bin Abi Thalib adalah termasuk salah seorang yang pertama masuk Islam as-sabiqun al-awwalun dari kalangan anak-anak sekitar berumur delapan atau sepuluh tahun, dan termasuk salah seorang sahabat Nabi yang dijanjikan masuk surga. Sejak kecil ia dididik dengan adab dan budi pekerti Islam, karena kedekatannya dengan Nabi. Ia orator ulung, hidupnya penuh asketis al-ulama ar-rahbaniyah rabbani al-ummah, berani, salah seorang yang banyak meriwayatkan hadis, pengetahuannya keagamaannya sangat luas, fatwa-fatwanya menjadi pedoman bagi para khalifah dan sahabat-sahabat para masa Abu Bakar, Umar dan Utsman.[3] B. Pengangkatan Menjadi Khalifah Pengangkatan Ali menjadi khalifah keempat dari khulafa’ ar-rasyidin terjadi pada tahun 35H/656 M, berawal dengan wafatnya khalifah ketiga Utsaman bin Affan, yang terbunuh oleh sekelompok pemberontak dari Mesir yang bertepatan dengan 17 Juni 656 M, yang mana mereka tidak puas terhadap terhadap kebijakan pemerintahan Utsman bin Affan. Setelah Utsman wafat, pemilihan khalifah yang keempat jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib. Namun orang-orang Bani Umayyah, terutama pemimpin-pemimpin pemimpinnya yang telah merasakan lezatnya kekuasaan dan kekayaan semasa pemerintahan Utsman meraka khawatir jika pemerintahan dipegang oleh Ali akan kembali disiplin sperti masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar. Oleh karena itu mereka tidak menghendaki Ali menjadi Khalifah. Pemilihan khalifah waktu itu lebih sulit dari pada sebelumnya.[4] Penduduk Madinah dengan didukung sekelompok pasukan dari Mesir, Bashrah dan Kufah mencari siapa yang mau menjadi khalifah. Mereka meminta Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam , Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Setelah mereka berunding, akhirnya mereka mendatangi penduduk Madinah agar mereka mengambil keputusan, karena merekalah yang dianggap ahli syura, yang berhak memutuskan pengangkatan khalifah, kreadibilitas mereka diakui umat. Kelompok-kelompok ini mengancam kalau tidak ada salah satu dari mereka yang mau dipilih menjadi khalifah, mereka akan membunuh Ali, Thalhah, Zubair, dan masyarakat lainnya. Akhirnya dengan geram mereka menoleh kepada Ali. Pada awalnya Ali pun tidak bersedia. Karena pengangkatannya tidak didukung oleh kesepakatan penduduk Madinah dan veteran perang Badar. Menurut Ali, orang yang didukung oleh komunitas inilah yang lebih berhak menjadi khalifah. Dengan berbagai argumen yang diajukan oleh berbagai kelompok tersebut, demi Islam dan menghindari fitnah, akhirnya Ali bersedia dibai’at. Pada hari Jum’at di Mesjid Nabawi, mereka melakukan bai’at dan keesokan harinya oleh sahabat-sahabat besar seperti Thalhah, dan Zubair, walaupun sebenarnya mereka membai’at secara terpaksa dan keduanya mengajukan syarat dalam bai’at tersebut supaya Ali menegakkan keadilan terhadap pembunuh Utsman. Namun Ali tidak langsung menjawab kesanggupannya, karena situasi pada waktu itu belum memungkinkan untuk mengambil tindakan dan para pembunuh Utsman tidak diketahui satu persatunya. Setelah Ali terpilih, beliau mengucapkan pidato dan minta semua rakyat mentaati peraturannyA. Yang pidatonya sebagai berikut “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menurunkan sebuah kitab yang dapat memberi petunjuk yang menerangkan mana yang baik dan mana yang buruk, karena itu kerjakanlah segala yang baik dan tinggalkanlah segala yang buruk. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan sesuatu dan lebih mengutamakan pengharaman darah seorang muslim diatas segala yang diharamkannya. Hak kaum muslimin diikat dengan ikhlas dan tauhid. Seorang muslim adalah seorang yang dapat menjauhkan kaum muslimin dari kejahatan lisan dan tangannya, kecuali dengan hak. Tidak dihalalkan bagi seorang muslim untuk menyakiti seorang muslim, kecuali dengan apa yang telah ditetapkan oleh syariat. Kerjakanlah secepat-cepatnya segala urusan yang umum dan yang khusus. Sesungguhnya manusia ada dihadapan kamu, sesungguhnya kalian selalu berpacu dengan masa, karena itu pergunakanlah sebaik mungkin waktumu agar kamu beruntung, sebab setiap generasi akan diteruskan oleh generasi yang lain. Takutlah kepada Allah didalam segala urusan hamba-hambaNya dan negeri-negeriNya, sebab kalian akan dimintai pertanggungan jawab dalam segala hal, sampai tentang tempat-tempat dan binatang-binatang ternak. Dan taatilah Allah dan janganlah kamu langgar sedikit pun ketetapan-Nya. Jika kamu melihat suatu kebaikan, maka kerjakanlah jika kamu melihat yang buruk maka tinggalkanlah. “Dan ingatlah hai para Muhajirin ketika kamu masih berjumlah sedikit lagi tertindas di muka bumi Mekkah kamu takut orang-orang Mekkah akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap Madinah. Dan jadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.”[5] C. Konflik yang terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib 1. Fitnah Kubra; Perang Antar Sahabat Akibat dari pembunuhan Utsman dan disusul dengan naiknya Ali menjadi khalifah yang tidak sepenuhnya didukung oleh umat Islam pada waktu itu mengakibatkan sebagai ekses yang sangat luar biasa dalam sejarah Islam, yaitu timbulnya tragedi yang mengenaskan yaitu perang saudara. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali yang tercatat dalam lembaran hitam sejarah Islam adalah sebagai berikut a. Perang Berunta Waqiatul Jamal 36 H/ 657 M Disebut perang unta karena panglimanya Aisyah mengendarai unta. Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali sebagai Khalifah, dipandang sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan untanya, walaupun menurut sementara ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu dominan. Pemimpin perang tersebut ialah Zubair, Thalhah, dan Siti Aisyah. Di antara ketiga orang itu Aisyah, sebagai panglima perangnya. Ketiga pemimpin itu di Mekkah mengumpulkan pasukan dari Hijaz dan Yaman. Kemudian mereka menuju Basrah dan mengumpulkan pasukan untuk memerangi khalifah Ali di Madinah. Perang ini merupakan perang saudara pertamakali dalam Islam. Sebab-sebab perang a. Mereka tidak setuju atas pengangkatan Ali sebagai Khalifah sekalipun Zubair dan Thalhah dulu turut membai’at Ali b. Mereka tidak setuju atas tindakan Ali mengadakan pergantian wali Gubernur, di beberapa daerah. c. Khalifah Ali tidak menuruti permintaan mereka untuk mendahulukan mengabulkan tuntunan kaum orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Khalifah Utsman sekalipun yang terakhir ini tidak disetujui Aisyah. d. Ambisi Abdullah Ibnu Zubair untuk menjadi Khalifah. Untuk ia membujuk Aisyah Ibu angkatnya agar mendukungnya, dan ikut serta berangkat ke medan perang. e. Ali tidak mengangkat Thalhah dan Zubair sebagai gubernur.[6] Khalifah Ali ingin sekali menghindari perang. Beliau sempat mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat pun berkobar.[7] Perang Jamal menyebabkan orang Islam terbunuh termasuk Zubair dan Thalhah. Sedangkan Aisyah selamat. Perang ini tiba-tiba berhenti setelah unta yang dikendarai Aisyah mati terbunuh. Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Sedang Aisyah dipulangkan ke Madinah dengan penuh kehormatan dan dipesan agar jangan kena bujuk lagi dan jangan mencampuri urusan politik.[8] Shiffin adalah sebuah tempat tak jauh dari sebelah barat pantai Sungai Furat, selatan Riqqah, timur laut Suria di dekat perbatasan Suria-Irak, dua kawasan bekas jajahan Rumawi dan Persia.[9] Perselisihan khalifah Ali dan Muawiyah Adannya perselisihan antara Ali dan Muawiyah berarti kembalinya perselisihan Bani Hasyim dengan Bani Umayyah, seperti pada zaman jahiliyah dahulu. Puncak perselisihan itu adalah meletusnya perang yang disebut perang shiffin. Sebab-sebab perang a. Muawiyah menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan Khalifah Utsman dan Muawiyah menuntut beliau. b. Ali sebagai Khalifah tidak percaya kepada Muawiyah di Syam, dan memecatnya dari jabatan Gubernur. Tetapi pemecatan mereka itu tidak ditaati oleh muawiyah. Khalifah Ali mengirimkan surat kepada Muawiyah dan berisi ajakan dama, atau kalau tidak mau, maka muawiyah dianggap memberontak terhadap pemerintahan yang sah. Dan Ali berhak memeranginya. Muawiyah menjawab dengan surat yang berisi kalimat “Bismillahirrahmanirrahim”. Mulai saat itulah perselisihan memuncak. Muawiyah siap untuk perang, Ali pun berniat menggempur mereka. Setelah selesai perang berunta, Ali terus berangkat ke Kufah. Dari sana beliau mengirim utusan Jarir bin Abdullah Al-Ghazali kepada Muawiyah agar minta supaya ia mau “bai’at” damai saja. Jawaban Muawiyah ialah 1 Bai’at damai tidak akan berlangsung sebelum darah Utsman selesai. 2 Bila darah itu tidak selesai bukan Bai’at yang berlangsung tetapi perang. Jawaban tersebut disampaikan Jarir pada Khalifah Ali dan menerangkan adanya persiapan perang di Syam. Dengan demikian perang tidak dapat dielakkan lagi. Pada mulanya pasukan Muawiyah mendapat kemenangan. Karena pasukan Ali melakukan pembalasan yang keras sekali, pasukan Muawiyah kembali menjadi kalah. Muawiyah sudah berpikir untuk lari, tetapi Amr mengambil siasat dengan memerintahkan supaya menaruh mushaf Al-Qur’an pada pucuk lembing mereka masing-masing, suatu tanda “damai dengan hukum kitab”. Dan mereka berteriak meminta perdamaian. Tujuan ajakan damai itu bagi muawiyah tidak lain untuk mengulur waktu gun menghindari kekalahan. Melihat keadaan itu dan mendengar seruan itu, pasukan Ali menjadi lemas tangannya tidak dapat melanjutkan perang. Padahal sudah hampir menang. Sebagian pasukan ingin terus perang sampai menang, tetapi sebagian ingin damai dan diselesaikan dengan hukum Allah. Sedang Ali sendiri menghendaki menyelesaikan perang sampai menang. Karena beliau mengerrti dan yakin bahwa seruan dari musuh itu hanya melihat belaka. Maka beliau berseru “teruskan perang sampai mendapatkan hukum”. Tetapi karena pasukan Ali sudah pecah, kemudian Ali memberhentikan perang dengan hati yang kesal. Pasukan beliau mundur ke Kufah sedang pasukan Muawiyah mundur ke Syam. Perang Shiffin ini memakan korban dari pasuka Ali orang gugur dan pasukan Muawiyah yang menjadi korban. Kemudian diadakan genjatan senjata dan dilanjutkan dengan diadakan pertemuan perdamaian dari kedua belah pihak arbitrase di Dumantul Jandal. Dumantul Jandal nama sebuah kampung di Sarhan. Sarhan adalah nama sebuah wadi oasis di utara Saudi Arabia. Majlis Tahkim Dumantul Jandal Perjanjian genjatan senjata antara Ali dan Muawiyah terlaksana. Kemudian mereka mengadakan perundingan dengan ketentuan Perundingan tetap di adakan di Dumantul Jandal tepat pada waktunya. Masing-masing terdiri dari 100 orang utusan. Dari pihak Ali diketahui oleh Abu Musa Al-Asy’ary, dan pihak Muawiyah diketahui Amr bin Ash Dengan taktik yang licin sebelum sidang dimulai Amr berusaha mengadakan perundingan dengan Abu Musa. Hasil perundingan ialah Keduanya sepakat untuk menurunkan Ali dan Muawiyah dari jabatan Khalifah ingat! Bahwa Muawiyah bukan Khalifah. Kata Amr “hal itu untuk menjaga kebebasan berbicara di dalam perundingan”. Abu Musa diminta berbicara dihadapan sidanng lebih dahulu dari pada Amr ingat! hal ini hanya untuk menjatuhkan Abu Musa saja. Kata Amr “Hal itu untuk menghormati sahabat yang lebih tua, yang lebih dahulu masuk Islam dan lain-lain”. Setelah sidang dibuka Abu Musa berbicara lebih dahulu yang isinya antara lain “Bahwa saya telah sepakat dengan Amr menurunkan Ali dan Muawiyah dari jabatan Khalifah, kemudian calon gantinya adalah Abdullah bin Umar”. Kemudian Amr berbicara dengan air muka yang manis, yang antara lain isinya “...Saya percaya bahwa Abu Musa tidak akan menjual agama dengan dunia. Dia menurunkan Ali dari jabatan Khalifah. Sekarang saya menetapkan Muawiyah sebagai Khalifah”. Majlis tahkim itu berakhir dengan kegagalan, memang Muawiyah tidak ada maksud menyelesaikan persoalan itu dengan jalan perundingan. Jadi benar kata Ali bahwa ajakan dari pihak Muawiyah itu hanya tipu muslihat saja. Dan kebetulan utusan dari pihak Ali adalah Abu Musa Al-Asy’ari seorang ulama besar yang jujur dan hanya bisa mengemukakan apa adanya, bukan seorang diplomat sejenis Amr bin Ash. 2. Timbulnya Aliran-Aliran dalam Islam Islam di samping merupakan sistem agama, ia juga merupakan sistem politik dan Nabi Muhammad SAW disamping seorang rasul sekaligus menjadi negarawan. Sehingga wajar persoalan-persoalan politik yang timbul di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib seperti yang telah disebutkan di atas pada akhirnya meningkat menjadi persoalan yang membawa-bawa masalah keyakinan teologi dalam Islam. Sikap Ali yang menerima arbitrase, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh pengikutnya. Mereka berpendapat, hal tersebut tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Menurut mereka, putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada, ayat al-Qur’an la hukma illa lillah, menjadi semboyan mereka.[10] Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk gerakan sempalan yang kemudian dikenal sebutan kaum “Khawarij”. Pendapat dan pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku arbitrase dianggap telah kafir dalam arti telah keluar dari Islam murtad, apostate karena tidak berhukum pada hukum Allah sebagai yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 44. `tBur óO©9 Oä3øts† !$yJà tAt“Rr& ª!$ y7ô¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÃÿ»s3ø9$ ÇÃÃÈ Artinya “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” QS. Al-Maidah 44. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali, Mu’wiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari.[11] Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir yang mereka pahami turut mengalami perubahan. Orang yang dipandang kafir bukan hanya orang yang tidak berhukum pada al-Qur’an saja, tetapi orang yang berbuat dosa besar pun dianggap kafir.[12] Untuk menghadapi pemikiran Khawarij tersebut muncul aliran yang berpendapat bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukan terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuni Aliran ini dikenal dengan sebutan Murji’ah. Pada awalnya kelompok ini adalah orang-orang yang mengambil sikap diam dalam melihat pertikaian di kalangan umat Islam sendiri. Mereka sangat berhati-hati dalam menilai siapa yang salah dan siapa yang benar dalam peristiwa perang saudara pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Secara politik akhirnya mereka mayoritas mendukung pemerintah Bani Umayah. Dalam masalah teologi, dari kelompok ini pulalah yang melahirkan kelompok “Ahlussunah wal Jama’ah”. Kemudian ada kelompok yang tidak setuju pada keduanya maka lahirlah aliran “Mu’tazilah”, yang berpendapat bahwa orang berdosa besar tidak kafir juga tidak mukmin, orang seperti itu berbeda di posisi tengah al-manzilah bainal manzilah. Dari pihak pendukung fanatik Ali bin Abi Thalib juga akhirnya melembagakan teori politiknya, bahwa sebenarnya yang berhak menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad SAW adalah Ali bin Abi Thalib dan dilanjutkan oleh keturunannya. Mereka ini kemudian dikenal dengan aliran “Syi’ah”. Harapan mereka pada awalnya tertuju kepada Hasan putera tertua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Akhirnya mereka mengangkat Hasan, namun nampaknya Hasan mewarisi sifat ayahnya, tidak berbakat menjadi khalifah. Kemudian ia mengadakan akomudasi dengan menyerahkan hak khalifahny kepada Mu’awiyah.[13] Kemudian para pengikutnya memposisikan sebagai oposisi penguasa, sampai terbunuhnya pemimpin mereka berikutnya, Husein bin Abi Thalib, saudara Hasan pada tragedi Karbela. Setelah itu mereka terus menerus menggalang kekuatan untuk merongrong penguasa pada waktu itu. Untuk selanjutnya aliran-aliran atau madzhab tersebut berkembang, ada yang bersifat pengembangan, kritik, atau menandingi dan melawan aliran-aliran yang sudah ada, ada yang bertahan lama, ada pula yang hanya bertahan sebentar sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan umat Islam itu sendiri dalam memahami pesan dan ajaran agamanya. D. Masa Akhir Jabatan Ali bin Abi Thalib Ali dilanda dengan cobaan yang sangat berat dimana para pengikutnya telah banyak yang membangkang, terjadinya pelanggaran hukum dan pengacauan berita perampasan, teror dan pembunuhan terjadi dimana-mana. Rakyat sudah tidak pernah tenang, semua berada dalam kegelisahan. Toleransi yang telah Ia berikan kepada Muawiyyah dan Khawarij telah melampaui batas. Tetapi saat itu sekelompok Khawarij memanfaaatkan momentum musim haji tahun 40 H. Mereka melihat jemaah haji sudah bercerai berai. Golongan Muawiyyah melaksanakan sholat dengan imam sendiri begitu pula dengan golongan Ali dengan imam sendiri. Sudah sangat parah kondisinya saat itu. Khawarij yang tidak berhasil memerangi Muawiyyah dan Ali, mereka berniat melakukan pembunuhan terhadap biang keladi yang dianggap menimbulkan pertentangan dikalangan kaum muslimin, mereka adalah Ali, Muawiyyah, dan Amr bin As. Pada tanggal 40 H Khawarij yang telah sepakat akan melakukan pembunuhan yang terdiri atas 3 orang telah menentukan tempat, tanggal, dan waktu pelaksaannya. Mereka itu adalah Abdurrahman bin Muljam al- Himyari al-Muradi yang akan berangkat ke Kuffah untuk membunuh Imam Ali. Al- Burak atau Al-Hajjaj bin Abdullah at-Tamimi yang akan berangkat ke Syam untuk membunhu Muawiyyah. Amr bin Bakr at-Tamimi yang akan pergi ke Mesir untuk membunuh Amr bin As. Pelaksanaannya ditentukan dalam waktu yang sama yaitu saat mereka melakukan sholat subuh di Mesjid. Tanggal 17 Ramadhan tahun ini juga. Pada waktu yang telah ditentukan, di Mesjid Damsyik Hajjaj sudah menunggu Muawiyyah yang akan melaksanakan sholat subuh. Tetapi Ia tidak berhasil,karena ketika mengayunkan pedangnya Ia disergap oleh pengawal Muawiyyah, dan pedang itu hanya mengenai bokongnya. Kemudian orang tersebut menemui ajalnya atas perintah Muawiyyah. Lain halnya dengan Ali yang tidak mau dikawal dan tidak pernah memakai baju besi. Amr bin Bakr at-Tamimi juga tidak berhasil karena pada waktu yang telah ditentukan Amr bin As sedang sakit sehingga Ia tidak ke mesjid dan digantikan oleh Kharijah bin Habib As-Sahmi. Maka orang bini tewas oleh pedang Amr bin Bakr at-Tamimi dan Ia menemui ajalnya atas perintah Amr bin As. Abdurrahman bin Muljam al- Himyari al-Murad yang sudah menunggu di Kuffah menunggu waktu yang telah ditentukan. Ketika Imam Ali datang dan menyerukan salat, mereka menyambutnya didepan Mesjid dengan pukulan pedang. Pedang Abdurrahman bin Muljam al- Himyari al-Muradi mengenai tepat didahinya tembus sampai ke otak. Ali pun roboh tersungkur, sambil berkata “tangkap orang! Abdurrahman bin Muljam al- Himyari al-Muradi tertangkap. Ali dibawa kerumahnya dan tinggal selama dua hari satu malam. Ia berpesan apabila ia mati maka bunuh lah Dia tapi jangan dianiaya. Sebelum ajal Imam Ali tidak menyebutkan nama pengganti dirinya, Ia hanya memberikan nasehat kepada anak-anaknya. Akhirnya Ali bin Abi Thalib pun meninggal pada tanggal 20 Ramadhan 40 H. 661 M. 24 Januari, gugur pada syahid pada usia 63 tahun. Jenaah Al dimandikan oleh Hasan dan Husain. Dengan meningganya Ali bin Abi Thalib maka berakhir pulalah masa al-Khulafua’ ar-Rasyidun ,yang berlangsung selama 30 tahun. Mengenai tempat pemakaman Ali bin Abi Thalib sebenarnya masih sangat rahaia, sebab khawatir akan diganggu oleh pihak Khawarij. Namun dari berbagai pendapat yang berbeda tentang letak pemakaman Ali. Menurut kalangan Syi’ah mereka meyakini kalau makam Ali bin Abi Thalib ada di Najaf, Irak selatan tempat ini dikenal dengan kompleks Imam Ali, dan disina pula terdapat Masjid Imam Ali yang ter besar dikota ini.[14] BAB III PENUTUP Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintah kurang lebih lima tahun 35-40 H/ 656-661 M. Berakhirnya kekhalifahan Ali berakhir pula masa kepemimpinan para khalifah yang cerdas, khulafa’urrasyidin yang empat, dengan sistem pemerintahan yang demokratis, yang pada waktu itu sulit mencari padanannya di wilayah manapun. Setelah itu, umat Islam mengalami perubahan dan perbedaan dalam sistem politik kenegaraannya, dari sistem pemerintahan yang berdasarkan syura’, berubah menjadi bentuk pemimpin yang tidak dipilih, tetapi berdasarkan penunjukkan yang secara turun menurun bani/dinasti atau berbentuk kerajaan. Di bidang pemahaman keagamaan juga muncul berbagai aliran madzhab/sekte yang bermula timbul dari respon terhadap berbagai peristiwa di akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Bagaimanapun mereka para generasi awal Islam, khususnya para khalifah yang empat adalah orang-orang yang mempunyai kredibelitas dan integritas pribadinya, serta loyalitas dan kontribusinya pada Islam tidak perlu diragukan lagi. Jika seandainya mereka lepas dari kekurangan, maka bagaimana kita menerangkan bagaimana berbagai peristiwa pembunuhan dan peperangan sahabat Nabi sendiri, selang hanya beberapa tahun saja dari wafatnya Beliau. Padahal peperangan itu banyak melibatkan sahabat besar, seperti Ali, Aisyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Saran saya kepada para pembaca baik Dosen, Mahasasiswa maupun masayarakat umum agar dapat lebih kritis dalam membaca makalah ini dan dapat memberikan kritikan yang membangun guna untuk memperbaiki kecacatan dalam pembuatan makalah ini dan harapan saya agar para pembaca dapat mengambil pelajaran dari makalah Sejarah Peradaban Islam ini. DAFTAR PUSTAKA Al-Atsir, Ibnu. 1979. Al-Kamil fi at-Tarikh, Jilid III. Beirut Dar al-Fikr. Al-Muhdhor, Yunus Ali. 1992. Kehidupan Nabi Muhammad SAW dan Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib Semarang Asy-Syifa. Audah, Ali. 2009. Ali bin Abi Thalib. Jakarta Pustaka Litera AntarNusa. As-Suyuthi, Jalaluddin. 2000. Tarikh al-Khulafa’. Mekkah Mukarramah Maktabah Nizar Musthafa al-Baz. Hudgson, Marshal GS. 1999. The Venture of Islam, Imam dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, buku pertama terj. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta Paramadina. Mursi, Muhammad Sa’id. 2008. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta Pustaka Al-Kautsar. Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta UI Pres. Syalabi, Ahmad. 2007. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta Pustaka Al-Husna Baru. Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta Raja Grafindo. Ali Audah. 2008. Ali bin Abi Thalib Sampai kepada Hasan dan Husain. Bogor PT. Litera Antarnusa [1] Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam sepanjang sejarah, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm. 20. [2] A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta Pustaka Al-Husna Baru, 2007, hlm. 243 [3] Abbas Mahmud al-Akkad, Ketakwaan Khalifah Ali bin Abi Thalib terj. Bustami A. Gani dan zainal Abidin Ahmad, Jakarta Bulan bintang, 1979, hlm. 45-46. [4] Basuki, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta Depag, 1999, hlm. 84. [5] Yunus Ali Al-Muhdhor, Kehidupan Nabi Muhammad SAW dan Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib Semarang Asy-Syifa, 1992, hlm. 594. [6] A. Syalabi, hlm. 248-252. [7] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta Raja Grafindo, 2010, hlm. 39-40. [8] A. Syalabi, hlm. 252-256. [9] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib, Jakarta Pustaka Litera AntarNusa, 2009, hlm. 257. [10] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta UI Pres, 1986, hlm. 6. [11] Ahmad Syalabi, hlm. 306-307 [12] Harun Nasution, hlm. 7 [13] Marshal GS. Hudgson, The Venture of Islam, Imam dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, buku pertama terj. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta Paramadina, 1999, hlm. 312 [14] Ali Audah. 2008. Ali bin Abi Thalib Sampai kepada Hasan dan Husain. Bogor PT. Litera Antarnusa, hlm 335-341
Abstrak Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab klaim-klaim atau tuduhan negatif yang dilontarkan terhadap sayyidina Muawiyah. Beliau dianggap sebagai sumber kekacauan dalam islam, sebagai aktor antagonis dalam panggung sejarah Islam, yang itu semua hanya karena salah dalam memahami dan menyikapi sejarah konflik dengan sayyidian Ali. Padahal setelah dirujuk kepada buku sejarah yang terpercaya, pendapat ulama terkemuka dan mayoritas umat, sejarah tentang Muawiyah tidaklah seburuk cerita yang diada-adakan itu, bahkan banyak sekali kelebihan dan keutamaan Muawiyah. Apalagi yang menjadi objek pembahasan disini adalah sahabat-sahabat Rasulullah yang mulia, yang keutamaannya masing-masing telah disebutkan secara langsung oleh Rasulullah sendiri. Secara akal sehat tidak mungkin mereka seaneh dan seburuk tuduhan itu. Manipulasi sejarah semacam ini bisa berdampak sangat berbahaya bagi umat Islam sendiri, yang sudah menganggap Islam begitu kacau di awal perkembangannya, dan juga bisa menjadi senjata bagi musuh-musuh Islam yang ingin merusak Islam melalui paham sejarah yang keliru ini. Maka artikel ini mencoba untuk memberi pemahaman yang lurus dan benar mengenai siapa Muawiyah sebenarnya dan bangaimana cara menyikapi konflik yang terjadi pada masa itu.
Pada jumat pertama setelah pembaiatan itu, jenazah berkumpul di masjid dan menyatakan penyesalan dan kesedihannya atas kematian Usman banyak orang yang menyesalkan Talhah dan Zubair. Mereka menyalahkan kedua orang itu karena membiarkan hal itu terjadi. Tetapi Talhah berkata, bahwa sikapnya sejak dulu tak berubah, bahwa ia telah mencampuradukkan dosa dengan tobat sehigga membuat mereka tidak senang atas kedaulatannya, tetapi juga mereka tak senang dengan terjadxinya pembunuhan itu. Kemudian Zubair juga mengatakan bahwa dengan karunia Allah mereka telah menagut sistem syura itu yang telah menghilangkan para nafsu Majelis Syura dan para veteran Bdr sudah bermusyawarah. Kita sudah sama-sama setuju dan kita membaiat Ali bin Abi Talib. Jadi anggota Majelis dan veteran Badr sudah setuju, dan jika belum ada dari mereka yang membaiatnya hendaklah segera membaiat. Mengenai pembunuhan Usman, dan segala peristiwa besar yang terjadi sebelum itu, mereka serahkan kepada kehendak...
makalah ali bin abi thalib